Kita kini hidup di era yang menganut nilai relativisme,
suatu masa di mana berlaku ungkapan, “Tidak ada kemutlakan!” Dalam banyak hal,
garis pemisah antara kebenaran dan kekeliruan telah menjadi kabur, jika tidak
ingin dikatakan terhapus sama sekali. Tetapi, jauh di dalam lubuk hati,
kebanyakan dari kita masih tetap dapat membedakan mana yang benar dan yang
salah, paling tidak dalam beberapa aspek kehidupan.
Misalnya, tidak ada satu pun di antara kita yang rela
seseorang mengambil sesuatu yang menjadi milik kita. Kita tidak suka dibohongi,
dan ketidakjujuran cenderung menghancurkan hubungan di tempat kerja, di rumah,
dalam jalinan persahabatan, dan dalam organisasi kemasyarakatan. Tak seorangpun
dapat menerima apabila kerusakan mesin mobil dijadikan alasan pengalih
kecerobohan pengemudi mabuk yang mengakibatkan seseorang cedera atau meninggal
dunia. Kita sepakat memandang sebagai hal yang tercela, bila seorang eksekutif
menjual rahasia perusahaan demi keuntungan pribadi. Dan masih banyak hal salah
lainnya yang dapat kita sebutkan. Mungkin tidak semua orang sependapat dalam
setiap kasus, namun tampaknya kita semua mempunyai perasaan naluriah mengenai
cara yang benar menjalani hidup, apa yang Nabi ajarkan kepada kita tentang
“kebenaran”.
Memandang perasaan tersebut secara positif, menyebabkan
kebanyakan dari kita sependapat bahwa menolong seseorang yang sedang menghadapi
masalah kesehatan, keuangan atau masalah-masalah lain adalah hal yang “benar”.
Jika kita melihat seseorang sedang berada dalam ancaman serangan secara fisik,
adalah tindakan tepat jika kita menolong orang tersebut. Demikian juga,
kebajikan dan kasih, serta kalimat penghiburan dan dukungan, kita anggap
sebagai hal yang “benar” dan dibutuhkan.
Namun, dalam banyak aspek kehidupan masalah benar dan salah
tidak selalu dapat dengan mudah dibedakan. Lalu bagaimana kita merumuskan apa
yang diperlukan untuk membangun suatu “hidup yang benar” manakala hal yang
awalnya terpisah secara jelas dalam pola hitam-putih bergeser menjadi daerah
“abu-abu” yang meragukan.
Hidup dengan benar ditandai oleh pemilihan jalan yang benar.
Seseorang yang menjalani kehidupan pribadi dan pekerjaannya berdasarkan standar
moral dan etika yang tinggi dapat menjadi inspirasi bagi kita.
Hidup dengan benar berarti setia berada pada jalan yang
benar. Mereka yang sudah memutuskan untuk melakukan apa yang benar tidak
terusik oleh hal-hal sepele atau menyimpang karena memilih jalan alternatif
yang tampaknya lebih menggiurkan.
Hidup dengan benar membuahkan imbalan. Meski imbalan yang
diterima tidak selalu merupakan hasil hubungan sebab akibat yaitu kita menerima imbalan yang baik sebagai
hasil melakukan sesuatu yang benar sering
juga imbalan dari menjalankan hidup yang benar kita terima.
Hidup dengan benar tidak dibangun di atas dasar perasaan.
Ungkapan masa kini berbunyi, “Jika Anda rasa baik, lakukan saja.” Emosi, tidak
selalu dapat diandalkan. Emosi tak jarang memberi arahan yang keliru. Amarah
dapat menyebabkan kita menyerang seseorang, dan itu bukan hal yang benar
1. Dengar apa kata hati
2. Percaya diri
3. Tidak pernah mengeluh
4. Berani mencoba
5. Tanggung jawab
6. Jujur